Mungkin kita sering bertanya, dimana rejeki kita?
Kita sering menggugat dan (maaf) sedikit menyalahkan Tuhan karena kita merasa sulit dan berat untuk mendapatkan rejeki seperti yang kita harapkan. Kita (cenderung) akan menyalahkan orang lain dan mencari kambing hitam untuk menutupi kelemahan dan kebodohan kita.
Yang lebih berbahaya, Kita akan lari dari kenyataan dan berusaha mendapatkan rejeki dengan menghalalkan segala cara dengan melanggar norma aturan negara, masyarakat bahkan ajaran agama.

Dimana rejeki kita?
Agama mengajarkan bahwa Tuhan telah membukakan pintu rejeki buat umatnya dengan beribu bahkan berjuta cara. Kini tergantung pada diri kita sendiri karena Kita diberikan akal pikiran dan kekuatan untuk memilih dan menentukan jalan sendiri. Kata sopir bis kota dan kondektur bis, ‘RESIKO DITANGGUNG PENUMPANG’. Artinya bahwa benar atau salah jalan yang kita ambil ya kita sendiri yang akan menanggung akibatnya.

Pernahkah kita berpikir tentang hidup seekor cicak yang harus menempel di dinding rumah kita sementara nyamuk sebagai makanannya bisa terbang kesana-kesini? Kita bisa lihat bahwa cicak itu juga bisa hidup dan berkembang biak dengan layak. Artinya bahwa Tuhan tidak melupakan nasib umatnya yang menjadi seekor cicak. Tuhan tetap memberikan rejeki makanan lewat jalanNya yang misterius.

Pernahkah kita berpikir tentang hidup seekor semut yang nampak kecil dan tidak berdaya? Mereka, si semut, juga masih bisa menemukan makanan setelah berjalan jauh dari sarangnya. Tuhan memberikan kemampuan yang unik pada semut untuk mendeteksi bau sumber makanannya sehingga kadang kalau kita lupa menaruh (misalnya) gula tanpa tutup yang sempurna, maka dalam sekejap mata gula itu akan segera dikerubuti semut.

Ya, Tuhan Maha Adil kepada umatNya.

Jika begitu adanya, apakah kita yang manusia ini, yang mendapatkan banyak kelebihan dibandingkan binatang itu masih juga mengeluh tidak bisa mendapatkan rejeki yang layak untuk kehidupan kita?

Hidup itu keras dan berat, kawan.
Saya yang merasakan hidup di lapangan sebagai seorang salesman, terkadang juga merasa payah saat menemui kesulitan untuk mengejar omset sesuai yang digariskan oleh perusahaan.
Tetapi, Insya Allah, saya selalu berpedoman bahwa, ‘SAYA TIDAK BOLEH MENGELUH!’. Ada seorang bijak yang pernah berkata, ‘Apabila kita mengeluh, apakah semuanya akan menjadi lebih baik? Apakah mengeluh bisa membuat kita mendapat apa yang kita harapkan? Mengeluh mungkin bisa menenangkan diri kita, tetapi sekaligus mengeluh juga membuat kita menjadi lemah dan tidak berdaya. Yang dibutuhkan adalah kerja keras dan berdoa maka segala persoalan Insya Allah akan mudah kita lalui.’

Lalu, apakah yang menjadi rejeki kita?
Si Bijak juga berkata, ‘Rejeki kita adalah apapun yang telah kita manfaatkan dan kita nikmati untuk diri kita. Semua milik kita adalah barang titipan Tuhan. Apa saja yang sudah kita makan dan kita pakai adalah rejeki yang benar-benar menjadi milik kita.’

Si Bijak memberikan contoh begini:

Suatu hari kita sedang asyik menikmati semangkok bakso. Apakah bakso itu menjadi rejeki kita? Belum tentu!
Jika karena sebuah sebab maka bakso itu jatuh dan tumpah maka semangkok bakso itu belum menjadi rejeki kita 100%. Bakso itu cuma menjadi calon rejeki kita sebelum habis kita santap dan berpindah menjadi isi perut kita.
Jika karena sebuah sebab maka bakso itu membuat kita sakit perut berarti kita harus mawas diri dan berpikir, mungkin kita telah berbuat satu kesalahan yang membuat bakso itu tidak memberikan manfaat pada perut kita. Kita harus mau mengoreksi diri sendiri sebelum menyalahkan si abang tukang bakso.

Harta, Keluarga, Suami /Isteri, Anak itu adalah rejeki titipan yang diberikan Tuhan untuk kita kelola dan kita arahkan di jalan yang benar.
Cepat atau lamba, Setiap umat harus mempertanggung-jawabkan titipan yang sudah diberikanNya.

Dimanakah rejeki kita?
Rejeki kita berada pada rasa bersyukur atas apa yang sudah kita miliki. Sedikit atau banyak itu relatif. Bersyukur kepadaNya yang akan membuat rejeki kita lebih bermanfaat untuk hidup kita.

Semoga …